Hukum Perikatan
1. Pengertian Perikatan
Perikatan
merupakan hal yang mengikat antara orang satu dengan orang yang lain. Yang
dimaksud hal yang mengikat adalah peristiwa hukum yang dapat berupa :
- Perbuatan, misalnya jual-beli dan hutang-piutang.
- Kejadian, misalnya kelahiran dan kematian.
- Keadaan, misalnya pekarangan berdampingan dan rumah bersusun.
Peristiwa
hukum diatas menciptakan hubungan hukum. Objek hubungan hukum itu adalah harta
kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Pihak yang berhak menuntut sesuatu
disebut kreditur dan pihak yang wajib
memenuhi tuntutan disebut debitur.
Maka dapat disimpulkan bahwa “Perikatan merupakan hubungan hukum mengenai harta
kekayaan yang terjadi antara kreditur dan debitur”. Perikatan memang lebih luas
pengertiannya jika dibanding dengan perutangan. Perikatan meliputi semua
hubungan hukum perdata, sedangkan perutangan hanya meliputi hubungan hukum
harta kekayaan, yang diatur dalam Buku III KUHPdt. Dapat dikatakan bahwa perutangan
adalah perikataan dalam arti sempit.
2. Dasar Hukum Perikatan
Segala
kegiatan yang dilakukan pasti harus dilakukan sesuai dengan peraturan yang
berlaku agar dapat berjalan dengan baik dan benar, termasuk juga Perikatan.
Hukum Perikatan diatur dalam Buku III KUHPdt. Hukum Perikatan merupakan hukum
yang mengatur tentang Perikatan. Pengaturan hukum perikatan meliputi bagian
umum dan khusus. Bagian umum memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi
perikatan pada umumnya. Bagian umum meliputi Bab I, Bab II, Bab III (pasal 1352
dan pasal 1353) dan Bab IV, yang berlaku bagi perikatan pada umumnya. Bagian
khusus memuat peraturan mengenai perjanjian-perjanjian bernama yang banyak
dipakai dalam masyarakat. Bagian khusus meliputi Bab III (kecuali pasal 1352
dan pasal 1353), Bab IV sampai dengan Bab XVII, yang berlaku bagi perjanjian
tertentu, yang sudah ditentukan namanya dalam bab-bab yang bersangkutan.
Peraturan hukum perikatan dilakukan dengan Sistem
Terbuka , yang berarti setiap orang boleh mengadakan perikatan apa saja
baik yang sudah ditentukan namanya maupun yang belum ditentukan namanya dalam
Undang-Undang. Sesuai dengan penggunaan Sistem Terbuka, maka pasal 1233 KUHPdt
menentukan bahwa perikatan dapat timbul baik karena perjanjian maupun karena
Undang-Undang. Dalam perikatan yang timbul karena Undang-Undang, hak dan
kewajiban debitur dan kreditur ditetapkan oleh Undang-Undang. Dalam pasal 1352
KUHPdt, perikatan yang timbuk karena Undang-Undang diperinci menjadi dua, yaitu
perikatan yang timbul semata-mata karena ditentukan oleh Undang-Undang dan
perikatan yang timbul karena perbuatan orang. Perikatan yang timbul karena
perbuatan orang dalam pasal 1353 KUHPdt diperinci lagi menjadi perikatan yang
timbul dari perbuatan menurut hukum (rechtmatig) dan perikatan yang timbul dari
perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
3. Asas-Asas dalam Hukum Perikatan
Dalam
hukum perikatan menganut beberapa asas diantaranya, sebagai berikut :
- Asas Konsensual, pada asas ini mengandung makna bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat (konsensus) antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Sejak saat itu perjanjian mengikat dan mempunyai pihak hukum.
- Asas Kebebasan Berkontrak, dalam pasal 1338 KUHPdt menyatakan bahwa semua perjanjian dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.
Selain
kedua asas diatas, masih terdapat beberapa Asas Hukum Perikatan Nasional, yaitu
:
- Asas Kepercayaan
- Asas Kepastian Hukum
- Asas Perlindungan
- Asas Moral
- Asas Kebiasaan
- Asas Persamaan Hukum
- Asas Keseimbangan
- Asas Kepatutan
4. Hapusnya Perikatan
Sebuah
perikatan yang terbentuk dapat dihapus dengan menggunakan cara-cara yang
diatur dalam pasal 1381 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, sebagai berikut :
a. Pembayaran
Pembayaran
yang dimaksud setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela. Dalam arti luas,
tidak saja pihak pembeli membayar uang harga pembelian, tetapi pihak penjual
pun dikatakan, “membayar” jika menyerahkan atau “melever” barang yang
dijualnya. Mengenai tempatnya pembayaran, oleh pasal 1393 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dijelaskan sebagai berikut :
“Pembayaran
harus dilakukan di tempat yang ditetapkan dalam perjanjian. Jika dalam
perjanjian tidak ditetapkan suatu tempat, maka pembayaran yang mengenai suatu
barang tertentu, harus dilakukan di tempat di mana barang itu berada sewaktu
perjanjian dibuat. Diluar kedua hal tersebut, pembayaran harus dilakukan di
tempat tinggal si berpiutang, selama orang itu terus-menerus berdiam dalam
karesidenan dimana ia berdiam sewaktu perjanjian dibuat, dan di dalam hal-hal
lainnya di tempat-tinggalnya si berhutang.”
b. Penawaran
Pembayaran Tunai Diikuti oleh Penyimpanan atau Penitipan
Suatu
cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak
pembayaran.
c. Pembaharuan
Hutang atau Inovasi
Menurut
pasal 1413 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ada tiga macam jalan untuk
melaksanakan suatu pembaharuan hutang atau inovasi, sebagai berikut
- Apabila seorang yang berhutang membuat suatu perikatan hutang baru guna orang yang menghutangkannya, yang menggantikan hutang yang lama yang dihapuskan karenanya.
- Apabila seorang berhutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berhutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya.
- Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berhutang dibebaskan dari perikatannya.
d. Perjumpaan
Hutang atau Kompensasi
Suatu
cara penghapusan hutang dengan jalan mempertemukan atau memperhitungkan
hutang-piutangnya secara timbal balik antara kreditur dan debitur.
e. Percampuran
Hutang
Apabila
kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berhutang (debitur)
berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran hutang
dengan mana hutang-piutangnya itu dihapuskan.
f. Pembebasan
Hutang
Apabila
si berpiutang dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari si
berhutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka
perikatan yaitu hubungan hutang-piutang dihapus. Perikatan disini dihapus
karena pembebasan. Pembebasan suatu hutang tidak boleh dipersangkakan, tetapi
harus dibuktikan.
g. Musnahnya
Barang yang Terhutang
Jika
barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat
diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu
masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang tadi musnah atau hilang
diluar kesalahan si berhutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
h. Batal
atau Pembatalan
Meskipun
di sini disebutkan batal atau pembatalan, tetapi yang benar adalah “Pembatalan”
saja, dan memang kalau kita melihat apa yang diatur oleh pasal 1446 dan
selanjutnya dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ternyatalah bahwa
ketentuan-ketentuan disitu kesemuanya mengenai “Pembatalan”. Kalau suatu
[erjanjian batal demi hukum, maka tidak ada suatu perikatan hukum yang
dilahirkan karenanya dan barang sesuatu yang tidak ada tentu saja tidak bisa
dihapus.
i.
Berlakunya Suatu Syarat Batal
Perikatan
yang dilahirkan hanya apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Suatu
perikatan yang sudah dilahirkan justru akan berakhir atau dibatalkan apabila
peristiwa yang dimaksud terjadi. Perikatan semacam ini dinamakan suatu
perikatan dengan suatu syarat batal.
j.
Lewat Waktu
Menurut
pasal 1946 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dinamakan kadaluwarsa atau
lewat waktu ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan
dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas
syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Sepuluh
cara hapusnya suatu perikatan yang dijelaskan tadi belum lengkap, karena masih
ada cara-cara yang tidak disebutkan, misalnya berakhirnya suatu ketetapan waktu
(“termijn”) dalam suatu perjanjian atau meninggalnya salah satu pihak dalam
beberapa macam perjanjian.
Sumber
:
Abdulkadir
Muhammad, S.H. 1993. Hukum Perdata Indonesia. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti
Prof.
Subekti, S.H. 2004. Hukum Perjanjian. Jakarta : Intermasa
Komentar
Posting Komentar